Tag Archives: ahli

Kabinet Ahli

Pada tahun 1950-an, kata zakenkabinet (kabinet ahli) sering muncul dalam wacana politik kita. Yang dimaksud adalah kabinet yang dibentuk berdasarkan aneka pertimbangan tentang kesesuaian kemampuan setiap anggotanya dengan pekerjaan yang harus dilaksanakan setelah masuk kabinet.

Lawan dari konsep kabinet ahli pada waktu itu ialah kabinet ”dagang sapi”. Dalam modus menentukan kabinet jenis ini, yang diutamakan ialah kesetiaan calon anggota kabinet kepada partai politik yang memenangi wewenang membentuk kabinet.

Dalam sistem seperti ini, kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat. Bahkan, ada yang hanya berumur 100 hari. Hasil akhirnya ialah rangkaian kabinet parlementer itu tak ada yang mencapai hasil pemerintahan berarti. Rakyat tetap melarat, tetap merasa tertindas, dan terabaikan. Maka muncul gagasan kabinet ahli. Namun, keinginan masyarakat ini tidak pernah terwujud setelah Bung Karno mendeklarasikan kembali ke UUD 1945 dan kabinet menjadi kabinet presidensial. Kabinet ahli tidak pernah terbentuk.

Kabinet yang mendekati kabinet ahli baru terbentuk tahun 1970-an, yaitu saat kaum teknokrat di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro berusaha menciptakan ka – binet ahli ini. Masa ini tidak berlangsung lama karena Soeharto segera memasukkan aneka kepentingan pribadi ke dalam pertimbangan politik.

Mengapa sulit membentuk kabinet ahli?

Karena pembentukan kabinet pada dasarnya adalah tindakan politik. Jadi, berbagai pertimbangan politik selalu lebih penting daripada pertimbangan nonpolitik lainnya.

Kesukaran lain ialah karena pada saat- saat pembentukan kabinet selalu terdapat sejumlah makelar politik yang berkeliaran di sekitar formatur kabinet. Makelar politik ini ada dalam setiap zaman, Sekarang pun dalam masyarakat kita ada banyak makelar politik yang selalu mencari kesempatan untuk memasukkan kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya.

Peran etika politik

Jadi, jika pembentukan kabinet merupakan tindakan politik, terbentuknya suatu kabinet ahli tergantung etika pelaku politik. Jika para pelaku politik adalah manusia-manusia serakah, tipis idealisme, kabinet ahli tidak akan terbentuk. Sebaliknya, jika pelaku-pelaku politik adalah manusia-manusia yang sarat idealisme dan masuk politik bukan untuk merampok negara dan masyarakat, tetapi untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat, akan muncul kesempatan terbentuknya kabinet ahli. Kabinet Barack Obama jelas mempunyai watak kabinet ahli.

Bagaimana dengan kabinet untuk masa- masa mendatang?

Jika keluhan kita tentang generasi politik sekarang ini benar, rasanya kecil kesempatan untuk munculnya suatu ka – binet ahli. Kalau kita sebagai bangsa menghendaki lahirnya suatu kabinet ahli, kabinet yang benar-benar mengabdi kepada rakyat dan masyarakat, yang harus dilakukan ialah melahirkan generasi politik baru yang lain wataknya daripada generasi politik yang kita keluhkan. Caranya ialah pendidikan.

Menuju generasi politik baru

Jika kesantunan politik bergantung pada kesadaran etika, yang harus kita lakukan ialah memperbaiki pendidikan etika di keluarga dan di sekolah. Pendidikan etika yang baik bukan pendidikan yang menyuruh anak-anak menghafalkan norma- norma, baik norma agama maupun norma sosial. Pendidikan etika yang baik adalah pendidikan yang mendorong anak untuk secara pribadi dan sukarela meningkatkan diri pada sejumlah norma.

Tidak semua murid sekolah akan memasuki kehidupan politik praktis dan sekolah tidak mempunyai kewajiban untuk menyiapkan murid-muridnya bagi kehidupan politik di kemudian hari. Namun, kewajiban sekolah ialah memberikan kesadaran dan ketaatan tentang landasan etika yang harus ditaati dalam hidup. Mereka yang kemudian terjun dalam kehidupan politik harus menentukan sendiri setiap kali apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan. Kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang layak dan apa yang tidak layak dilakukan oleh seorang pelaku politik disebut budaya politik. Setiap generasi politik menciptakan budaya politiknya sendiri. Budaya politik generasi 1950-an berbeda dengan generasi budaya politik tahun 1970-an. Generasi politik tahun 1990-an berbeda lagi. Jadi, budaya politik terus berubah. Ke mana arah perubahan budaya politik dalam setiap generasi ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain corak pergaulan sosial suatu generasi.

Apa yang kita inginkan sekarang?

Yang kita inginkan sekarang adalah generasi yang mampu menjalankan kehidupan politik secara lebih santun atau generasi yang terus mengulang kesalahan klasik yang terjadi selama ini?

Tentu saja, kita menginginkan tumbuhnya generasi baru yang mau dan mampu memperbarui budaya politik. Pendidikan yang menekankan pembinaan kemampuan ini disebut pendidikan volutive (pembinaan kehendak). Ini harus dilakukan selain pendidikan kognitif (pembinaan akal) dan afektif (pembinaan rasa). Dalam idiom Taman Siswa, ketiganya disebut pendidikan pembinaan cipto, roso, dan kars o . Ini yang sampai sekarang cenderung diabaikan di sekolah kita.

Dalam kurikulum sekolah sekarang ini banyak tersedia mata ajar yang bermuatan pendidikan volutive, yaitu sejarah, kewarganegaraan, pendidikan agama, dan olahraga. Melatih anak berlari maraton sejauh 5 kilometer merupakan latihan yang bagus untuk pendidikan volutive .

Dalam membina budaya politik yang baru, yang harus dilakukan ialah membimbing anak-anak mengenali normanorma politik yang kita inginkan bersama, memahami setiap norma itu dan menghayati norma yang telah dipahaminya. Maka norma itu akan menjadi sesuatu yang diterima si anak. Dengan demikian, anakanak akan secara sukarela mematuhi apa yang diperintahkan setiap norma tadi.

Pelanggaran norma politik yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh tidak dipahaminya sistem nilai politik yang ada, tidak adanya penerimaan secara kolektif norma-norma politik, serta tidak adanya kesepakatan antara para pelaku politik untuk menentukan bersama norma mana yang secara mutlak harus ditaati dan norma mana yang dipandang dapat memberi keleluasaan gerak politik. Untuk mencapai semua ini dibutuhkan proses panjang. Bukan satu atau dua tahun, tetapi bisa tujuh sampai lima belas tahun. Sanggupkah pendidikan kita melahirkan generasi baru politik seperti itu?

MOCHTAR BUCHORI Pendidik

Kompas, Rabu, 14 Oktober 2009

Tinggalkan komentar

Filed under opini